Palembang, Klikanggaran.com (03-11-2018) - Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Jaka Baring Sport Center disinyalir hanya untuk pencitraan dalam rangka Asian Games 2018. Hingga terkesan hebat dan seolah menjadi icon keberhasilan Pemprov Sumsel kala itu dalam pelaksanaan perhelatan Asian Games.
Dampak pencitraan yang berbiaya mahal tersebut adalah beban APBD Provinsi Sumsel setiap tahunnya, untuk membayar cicilan hutang investasi kepada sindikasi bank yang mendanai proyek PLTS Jakabaring.
PT PLN Persero menetapkan Biaya Pokok Pembangkitan (BPP) sebesar Rp1.050 per Kwh dan untuk energi terbarukan sebesar 85% X BPP atau kisaran Rp892,5 per Kwh yang berdampak pada harga jual listrik yang di hasilkan PLTS Jakabaring sebesar Rp892,5 per Kwh.
Timbul pertanyaan, apakah listrik yang dijual dapat menutupi beban biaya investasi dan cicilan pinjaman pembangunan PLTS Jakabaring? Ketika hal ini dikonfirmasikan ke sumber yang ada di PDPDE Sumsel, didapat jawaban bahwa penjualan listrik tidak mencukupi untuk membayar cicilan pinjaman bank.
“Listrik yang dijual kisaran Rp 150 juta sedangkan beban cicilan sebesar hampir Rp 350 juta," ujar sumber di PDPDE yang tidak ingin disebutkan namanya.
“Dari tahapan perhitungan analisis ekonomis sampai dengan perencanaan teknis pembangunan PLTS Jakabaring tidak layak secara ekonomis dan teknis, namun tetap dipaksakan," tambah sumber tersebut.
Namun, sepertinya niatan Pemprov Sumsel ingin menjadi yang pertama dan terbesar di Sumatera serta alasan Asian Games maka PLTS Jakabaring harus terlaksana dengan pendanaan bersumber dari pinjaman pemerintah Jepang.
Dirut PDPDE menyatakan di dalam surat No. 593/PDPDE/SS/XII/2016 tanggal 29 Desember 2016 bahwa biaya yang diperlukan untuk pembangunan pembangkit adalah sebesar US$ 2.400.000. Dengan rincian US$ 1.000.000 pinjaman Pemerintah Jepang dan Rp1.400.000 dari modal sendiri PDPDE.
Tapi, nyatanya Pemerintah Jepang melalui Badan Lingkungan Hidup Jepang disinyalir hanya mencairkan US$ 500.000 dari pinjaman senilai US$ 1.000.000, sementara PDPDE Sumsel diduga telah membayar comitment fee ke PT SHARP Corporation sebesar US$ 350.000.
Terjadinya pemotongan anggaran rencana pinjaman oleh Pemerintah Jepang disinyalir karena proses pembangunan PLTS, peraturan perundangan untuk dasar hukum pembiayaan dan bukti-bukti pembayaran yang diajukan oleh PDPDE Sumsel tidak dapat meyakinkan pihak pemberi pinjaman.
Proses pembangunan dan pengadaan barang jasa untuk pembangunan PLTS Jakabaring sesuai dengan arahan dari PLT Sekertaris Daerah Provinsi Sumatera Selatan, Joko Imam, dengan surat No. 027/0070/II/2017 harus mengacu ketentuan pasal 2 ayat (3) Peraturan Presiden No. 54 tahun 2010.
Ketentuan pengadaan barang dan jasa baik sebagian atau seluruhnya berasal dari pinjaman luar negeri harus mengacu ke Perpres ini atau melalui proses tender pengadaan barang jasa Pemerintah. Namun, Direktur Utama PDPDE Sumsel, Yaniarsah, melaksanakannya dengan sistem swakelola dan pembelian langsung. Sehingga diduga tidak dapat menyakinkan pihak pemberi pinjaman dalam hal ini Badan Lingkungan Hidup Jepang untuk mencairkan keseluruhan pinjaman atau hanya sebatas invoice pembelian material dari PT Sharp Corporation.
Dan, ada dugaan tindak pidana korupsi dalam pembiayaan pembangunan PLTS Jakabaring yang patut diduga menjadi penyebab pihak pemberi pinjaman tidak ingin mencairkan pinjaman secara utuh.
Hal ini berakibat Pemprov Sumsel terbebani untuk membayar pinjaman dan bunga pinjaman selama 20 tahun dan kehilangan aset Pemprov Sumsel yang digadaikan untuk jaminan pinjaman ke sindikasi bank.