Jakarta,Klikanggaran.com - Sekretaris Jendral Forum Indonesia untuk Transfaransi Anggaran (Sekjen FITRA), Misbah Hasan, mengapresiasi komitmen pemerintah dalam menyediakan anggaran covid-19 cukup besar, sekitar Rp405,1 Triliun. Meskipun demikian, ia menuturkan bahwa anggaran tersebut bukannya tanpa resiko.
"Resiko pertama, terkait penyediaan besaran anggaran tersebut, saat ini realisasi pendapatan negara baru mencapai Rp216,6 triliun (9,7% dari target APBN). Ini artinya, kas negara sedang minim). Belum lagi per Maret 2020 Belanja Negara sudah mencapai Rp279,4 triliun," ujar Misbah pada Klikanggaran.com, Rabu (1-4).
Kedua, Misbah juga menjelaskan bahwa pemerintah mengandalkan SILPA APBN tahun lalu sebesar Rp46,4 triliun. Ini jelas tidak mencukupi. Apalagi kondisi perekonomian yang terkoreksi saat ini, misal dari aspek penerimaan perpajakan, PNBP, dan lain-lain.
"Pemerintah musti mencari pendanaan dari sumber lain. Utang sepertinya akan menjadi alternatif pertama. Hal ini terlihat dari perubahan defisit anggaran yang dibuka di atas 3%. Ini yang harus dikontrol juga. Jangan sampai kebijakan utang akan menimbulkan masalah di tahun-tahun berikutnya," jelasnya.
Menurut Misbah, dengan besaran anggaran yang disediakan, pasti rentan penyimpangan. Untuk itu, pemerintah harus menyediakan media informasi pelaksanaan anggaran yang bisa dipantau oleh masyarakat setiap saat.
"Organisasi Masyarakat Sipil juga bisa melakukan audit sosial terhadap pelaksanaan penanganan covid-19 ini nantinya. Peran lembaga pengawas sangat krusial dalam monitoring dan audit pelaksanaan penanganan covid-19. Audit yang dilakukan oleh APIP, BPK, dan KPK harus dipublikasikan kepada masyarakat," tuturnya.
Selain itu, Misbah juga menyarankan informasi terkait proses dan mekanisme realokasi anggaran yang juga penting untuk disampaikan kepada publik.
"Uangnya dari mana, berapa besar, dan digunakan untuk apa. Jadi informasi yang disampaikan oleh Gugus Tugas Covid-19 dan K/L pendukung tidak hanya jumlah korban, tapi penggunaan anggaran hingga saat ini berapa dan untuk apa saja," ujar Msibah.
Lebih lanjut Misbah menjelaskan, untuk daerah, kondisi fiscalnya tidak jauh berbeda dengan pusat, apalagi daerah masih sangat tergantung fiscalnya dari transfer pusat, DAU, DAK, DBH, Dana Desa. Proporsinya rata2 hingga 70-80% untuk Kab/Kota seluruh Indonesia. Kalau hanya mengandalkan PAD, saya yakin daerah tidak mampu.
"Untuk itu, realokasi Belanja Barang/Jasa dan Belanja Modal sangat penting, misalnya: Jasa Perkantoran, ATK, Belanja Perjalanan Dinas, Makan Minum, dan program-program yang tidak prioritas musti dipangkas untuk penanganan covid-19."
"Kalau hitungan FITRA, berdasarkan APBD Realisasi 2018 Provinsi/Kab/Kota seluruh Indonesia, kalau Belanja Barang/Jasa-nya direalokasi sebesar 30%, akan tersedia anggaran sebesar Rp 79,2 T, sedangkan untuk realokasi Belanja Modal hingga Rp 60,9. Intinya, transparansi alokasi dan realokasi anggaran penanganan covid-19 sangat penting, demikian juga akuntabilitas penggunaannya," tutup Misbah.