JAKARTA, KLIKANGGARAN--Setiap tahun pada tanggal 2 Mei bangsa Indonesia Memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Dua tahun terakhir ini, peringatan Hardiknas dirayakan di masa pandemic covid-19. Pandemi diduga telah berdampak signifikan terhadap menurunnya kualitas pendidikan di Indonesia, bahkan angka putus sekolah meningkat, yang berari target RPJMN untuk meningkatkan lama sekolah menjadi terancam gagal tercapai.
Badan Pembangunan Nasional (BAPENAS) mencatat bahwa pandemic covid-19 di Indonesia telah menambah jumlah penduduk miskin, meningkatkan pekerja anak, dan meningkatkan putus sekolah . “Data ini sejalan dengan pengawasan KPAI selama 2020 telah terjadi angka putus sekolah karena menikah sebanyak 119 kasus dan putus sekolah karena menunggak SPP sebanyak 21 kasus. Sedangkan pada Januari-Maret 2021 ada 33 kasus anak putus sekolah karena menikah, 2 kasus karena bekerja, 12 kasus karena menunggak SPP dan 2 kasus karena kecanduan gadget sehingga harus menjalani perawatan dalam jangka panjang”, ujar Retno Listyarti, Komisioner KPAI yang sangat konsen pada isu-isu pendidikan.
SMA Pradita Dirgantara Beri Beasiswa Kepada Anak Prajurit KRI Nanggala-402
Catatan KPAI Dari Hasil Pengawasan dan Survei
Berikut ini ini adalah sejumlah catatan KPAI dari hasil pengawasan maupun survey dan kajian terkait penyelenggaraan pendidikan dan berbagai kebijakan pendidikan di masa pandemic Covid-19.
1. Kebijakan Belajar Dari Rumah (BDR) atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) terus menuai masalah dan tidak juga dapat dicarikan solusinya oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, meskipun berbagai kebijakan dalam upaya mengatasinya sudah dibuat, seperti : kebijakan panduan BDR atau PJJ, kebijakan bantuan kuota internet, kebijakan kurikulum khusus dalam situasi darurat, kebijakan standar penilaian di masa pandemic, dan terakhir melakukan 3 kali relaksasi terhadap SKB 4 Menteri tentang Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di masa pandemic.
2. Menurut KPAI, tidak efektifnya sejumlah terobosan yang dibuat pemerintah untuk mengatasi BDR atau PJJ di karenakan :
(a) BDR atau PJJ terlalu bertumpu pada internet, akibatnya sejumlah kendala pembelajaran daring terjadi karena keragaman kondisi keluarga peserta didik, keragaman kondisi daerah seluruh Indonesia; dan kesenjangan digital yang begitu lebar antar daerah di Indonesia, mulai dari Jawa VS luar Jawa sampai daerah perkotaan VS pedesaan. Anak-anak dari keluarga kaya cenderung terlayani PJJ secara daring, namun anak-anak dari keluarga miskin kurang terlayani bahkan banyak yang sama sekali tidak terlayani, hal ini berdampak kemudian dengan angka putus sekolah;
(b) Tidak pernah ada pemetaan kesenjangan kemampuan digital dan kemampuan ekonomi antara anak-anak di pedesaan dengan di perkotaan, antara anak-anak dari keluarga miskin dengan anak-anak dari keluarga kaya. Padahal BDR atau PJJ sangat dipengaruhi oleh factor peranan orangtua peserta didik, misalnya : apakah ada pendampingan oleh orangtua, apakah orangtua memiliki kemampuan dalam penguasaan teknologi digital, apakah keluarga memiliki gadget atau hanya memiliki satu padahal anaknya lebih dari satu dan telepon genggam pun digunakan orangtua untuk bekerja, dan apakah selama BDR atau PJJterjadi komunikasi intens antara orangtua dengan guru:
Ramadhan di Perbatasan, Satgas Yonif 642/Kapuas Laksanakan Ibadah Bersama Warga
(c) Tidak ada pemetaan variasi BDR atau PJJ yang dibangun bersama antara guru, siswa dan orangtua, misalnya sistem pembelajaran seperti apa yang tepat atau sesuai dengan kondisi anak dari segi ekonomi keluarga, ketiadaan alat daring, ketidakstabilan sinyal, kondisi orangtua yang bekerja, apakah para guru memberikan umpan balik dari setiap penugasan yang diberikan;
(d) Kebijakan BDR/PJJ yang terkesan menyamakan masalah sehingga hanya satu solusi untuk semua problem BDR atau PJJ yang ada, misalnya bantuan kuota internet hingga Rp 7 T, namun pada praktiknya banyak yang mubazir dan tetap tidak mampu mengatasi masalah pembelajaran anak-anak dari keluarga miskin yang tidak memiliki alat daring. Atau masalah anak-anak di pelosok yang berada pada wilayah blank spot. Peserta didik dari keluarga miskin dan di pelosok tetap saja tidak terlayani PJJ daring ketika kebijakannya tunggal, hanya memberikan bantuan kuota internet untuk semua masalah PJJ;
(e) Kondisi setelah satu tahun lebih BDR atau PJJ mengakibatkan kejenuhan pada peserta didik sehingga menurunkan semangat belajar; munculnya masalah alat daring, masalah jaringan internet yang sulit, masalah tidak adanya interaksi guru-siswa dalam proses BDR/PJJ dan banyak anak kelas XII yang lulus tahun ini menunda kuliah karena sedang masa pandemic. Ini memunculkan potensi bertambahnya pengangguran, meningkatkan angka perkawinan anak dan pekerja anak;
3. Solusi Dampak Buruk PJJ atau BDR adalah merelaksasi Pembelajaran Tatap Muka (PTM) padahal secara riil Indonesia belum mampu mengendalikan pandemic covid-19.