Herd Immunity atau Believers Immunity?

photo author
- Minggu, 29 Maret 2020 | 21:05 WIB
virus corona
virus corona


(KLIKANGGARAN.COM)--Istilah herd immunity mulai saat ini akan sering kita dengar sebagai istilah dalam menyebutkan sistem kekebalan yang dibangun untuk melawan suatu wabah dan saat ini wabah itu adalah virus korona (Covid-19). Bagi kalangan yang ahli di bidang kesehatan lingkungan, tentu mereka sudah mafhum dengan istilah ini. Namun, bagi kalangan awam, istilah ini masih terdengar asing.


Istilah herd yang biasa kita pahami dalam bahasa Inggris bermakna sekelompok hewan. Adapun istilah immunity dapat diartikan sebagai kekebalan. Pertanyaannya, mengapa istilah herd digunakan bersama dengan immunity untuk menyebutkan suatu sistem imunitas pada manusia? Apakah karena manusia secara biologi juga dianggap sebagai hewan? Penting sekalikah membahas masalah ini? Izinkan saya beranalogi sekadarnya.


Jika kita menyaksikan film dokumenter dalam saluran National Geographic tentang sekelompok kijang di padang rumput Afrika yang berada dalam ancaman seekor atau beberapa ekor singa, pernahkah kita memperhatikan secara saksama apa yang dilakukan kijang-kijang tersebut dalam upaya mereka melindungi diri? Kijang-kijang yang awalnya saling berpencar dalam mencari rumput dengan segera menyatu dengan yang lain sehingga membentuk kelompok yang lebih besar begitu mereka menyadari kehadiran singa di dekat mereka. Itulah reaksi alami kijang setiap kali terancam dengan kehadiran singa dan itulah menurut saya makna kata herd secara visual yng sulit digambarkan dengan kata-kata.


Namun, ada kalanya di antara kijang-kijang itu, ada yang terlalu asyik memakan rumput atau terlalu jauh dari kelompoknya sehingga tidak menyadari kehadiran singa. Pada saat singa mengetahui bahwa ada kijang yang tidak bersama kelompoknya, tentu pemangsa itu akan mengintainya, mengendap-endap hingga dekat, dan menerkamnya saat kijang itu lengah. Apa yang dilakukan kijang-kijang lainnya? Ada simpati yang ditunjukkan kijang-kijang yang lain (juru kamera National Geographic-nya sangat lihai menangkap momen ini), tetapi sesudah itu sebentar kemudian mereka melanjutkan makan rumput karena mereka yakin singa yang sibuk memakan kijang yang lengah tadi sudah tidak lagi menjadi ancaman bagi mereka.


Saya menduga istilah herd dalam herd immunity memiliki filosofi seperti film dokumenter dalam saluran National Geographic itu. Filosofi itu bisa ditelusuri pula dalam buku The Origin of Species-nya Charles Darwin yang memopulerkan jargon survival of the fittest. Lalu, saya terbayang dengan foto atau video dalam medsos yang menggambarkan betapa hiruk-pikuknya rumahsakit dalam menangani penderita Covid-19. Begitu banyaknya penderita, sampai-sampai pihak rumahsakit harus memilih siapa yang harus dirawat, siapa yang “harus” dibiarkan. Itu BUKAN di negeri ini.


Untuk hal ini, saya berterima kasih kepada Charles Darwin yang sudah menulis buku The Origin of Species sehingga menyadarkan saya seperti itulah sikap manusia modern ‘Homo sapiens’ dalam menghadapi wabah: “yang lemah yang dikorbankan”. Manusia tidak ubahnya seperti sekelompok hewan kijang yang menyendiri saat mencari makan di padang rumput dan hanya mengelompok ketika ada ancaman di depannya. Setelah aman, kembali lagi menyendiri. Apakah kita seperti itu?


Saya ingin mengemukakan contoh yang terjadi dalam masyarakat kita. Ketika ada seruan agar masyarakat melakukan social distance untuk membatasi penyebaran dan penularan Covid-19, ada di antara mereka yang kemudian patuh. Namun, ternyata masih ada juga yang tak acuh. Apa perilaku yang muncul? Social distance justru dijadikan momentum untuk jalan-jalan, berkumpul, makan-makan bareng, wisata ke luar negeri dengan alasan dinas/pribadi, atau lainnya yang justru semakin memperbesar peluang penyebaran dan penularan virus. Mereka ini bukan kalangan menengah ke bawah, melainkan menengah ke atas dari sisi sosial, ekonomi, atau pengetahuan. Bersamaan dengan itu, mereka pula yang paling banyak menghabiskan uang untuk hand sanitizer, masker, atau APD lain yang sebenarnya diperlukan oleh para tenaga medis. Merekalah yang menyebabkan kepanikan sehingga harga-harga kebutuhan ikut pula naik. Karena kepanikan, naiknya juga tidak kira-kira. Merekalah sebenarnya yang berpotensi menjadi sarana penularan Covid-19. Bukankah hal itu yang menjadi awal pandemi di China, Korea Selatan, Italia, Inggris, AS, Belanda, Jerman, dan negara Eropa lainnya?


Ketika hand sanitizer habis di pasaran, orang berbondong-bondong membuat hand sanitizer dan dijual atau dibagikan secara cuma-cuma. Ketika masker habis di pasaran, mereka melakukan hal yang sama. Namun, adakah yang berpikir hal itu justru sama artinya memberi fasilitas orang untuk tidak melakukan social distance?


Bukankah hand sanitizer dibutuhkan untuk mencegah penularan bagi orang yang bepergian? Jika memang mereka melakukan social distance, sabun yang biasa dipakai sehari-hari di rumah sudah cukup sebagai pengganti hand sanitizer, bukan? Begitu pula dengan masker. Apakah ada di antara kita yang memakai masker saat berada di rumah?


Namun, di negeri ini, yang paling banyak “dituduh” sebagai kelompok yang tak acuh justru dari kalangan menengah ke bawah secara sosial, ekonomi, dan pengetahuan. Bahkan, sampai ada yang dengan tega menyebut mereka golongan (Neo) Jabbariyyah. Saya hanya bertanya dalam hati, apakah orang yang menyebut itu yakin bahwa mereka benar-benar Jabbariyyah? Apakah sudah pernah mengedukasi mereka? Tidakkah terpikir bahwa hal itu terjadi semata karena belum ada orang yang mau menjelaskan tentang hal ini kepada mereka? Dengan kadar keilmuan yang ada pada mereka, apakah salah jika mereka berpaling hanya kepada Sang Pencipta, sedangkan kita tak acuh kepada mereka? Social distance pun dijadikan alasan.


Padahal, boleh jadi mereka tak acuh karena pihak yang berwenang tidak ada yang mau memberi informasi tentang bahaya Covid-19 kepada tokoh masyarakat yang mereka patuhi. Mereka ini kelompok patriach, lho. Mereka akan lebih mudah diarahkan, asalkan tokoh yang mereka patuhi sudah diberi pemahaman. Mereka inilah yang sebenarnya berpotensi menjadi sasaran terbanyak bagi penularan Covid-19. Mengapa kita tidak sama-sama mengedukasi mereka sebelum terlambat dan mengakibatkan outbreak yang luar biasa?


Harus diingat pula, ketakacuhan seperti di atas terjadi pula di negara yang sudah “melek” segala-galanya. Sepertinya kita lupa bahwa ilmu atau pengetahuan tidak bisa dijejalkan secara paksa ke setiap kepala. Ilmu perlu waktu untuk dipahami. Kepala yang berbeda perlu waktu yang berbeda juga untuk memahami setiap ilmu. Adapun pemahaman adalah proses yang melibatkan kebersihan hati dari berbagai kepentingan, setidaknya seperti itulah di dalam Islam. Dalam keadaan darurat seperti ini, pihak yang memiliki otoritaslah yang harus bergerak cepat dalam mengambil keputusan dan tindakan, tidak mencla-mencle sehingga menimbulkan kegeraman semua pihak.


Sejalan dengan itu, penanganan Covid-19 sepertinya juga akan memakan waktu yang panjang. Bersabarlah dalam memberi pengertian kepada semua pihak. Saya menganjurkan agar kita mulai mengalihkan dana sosial atau dana sedekah untuk membuat hand sanitizer atau masker menjadi dana penyangga ekonomi bagi kalangan menengah ke bawah. Sangat mungkin mereka tidak melakukan social distance karena alasan ekonomi, bukan karena mereka (Neo) Jabbariyyah. Kemudian para pemuka agama mereka, karena tidak mampu menjawab tantangan sosial ini, menguatkan mereka dengan memasrahkan segalanya kepada Sang Pencipta. Apakah itu salah?


Kita masih akan lama menghadapi tantangan virus ini. Kita belum lagi selesai dalam periode social distance yang pertama ini. Mengapa pertama? Karena pelaksanaannya tidak serentak, ada kemungkinan periode social distance ini diperpanjang hingga waktu yang tidak kita ketahui, kecuali Allah Swt. AS memutuskan memperpanjang social distance hingga delapan pekan ke depan. Negara-negara Eropa sebagian besar sudah melakukan lock down yang minimal bisa berbulan-bulan untuk memastikan Covid-19 benar-benar musnah. Penderita Covid-19 yang sembuh di China pun kembali sakit. Apakah tidak mungkin gelombang siklusnya berulang, bahkan lebih parah dari yang pertama?

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X