Semantik "Lonte" dalam Medsos

photo author
- Sabtu, 21 November 2020 | 19:55 WIB
lonte
lonte


Sebuah opini yang ditulis oleh Tri Joko Setiadi, pemerhati bahasa Indonesia





Apa itu semantik? Secara umum, semantik adalah ilmu yang memberi kita pemahaman dalam memaknai suatu teks (berupa tulisan, gambar, video, bahkan film). Perangkat yang dipakai untuk memahami teks itu tentu saja sangat luas dan tidak terbatas hanya pada sejarah, sosial, atau pendekatan ilmu lain. Jadi, sangat mungkin setiap orang berbeda pemahamannya terhadap suatu teks yang sama karena perbedaan perangkat tadi.


Dalam bermedsos, hal seperti itu sangat mudah kita temukan. Contoh terbaru adalah perbedaan banyak orang dalam memahami teks seorang pemuka agama tentang "lonte" dalam suatu pengajian yang tentu saja bersifat terbatas.


Dari teks itu, muncul beragam tanggapan. Ada pihak pertama yang mengaitkan "lonte" dengan sosok selebritas tertentu. Selebritas ini sebelumnya menyebut sang pemuka agama sebagai "tukang obat" di medsosnya yang tentu saja bersifat publik sehingga diketahui banyak orang.


Pihak pertama memberi tanggapan bahwa sang selebritas adalah sosok yang cari perhatian karena "sudah tidak laku" dan cari sensasi agar banyak yang mengakses medsosnya.


Pihak kedua menanggapi pihak pertama yang intinya adalah belum tentu seorang "lonte" pasti masuk neraka dan seorang pemuka agama pasti masuk surga. Pihak kedua ini tentu saja pihak yang belum tentu membenci sang pemuka agama atau fans sang selebritas. Untuk menguatkan argumentasinya, pihak kedua bahkan sampai mengeluarkan dalil berupa hadis yang menceritakan seorang "lonte" yang bisa masuk surga. Padahal, isi hadis itu dan peristiwa yang dimaksud tidak sama. Hadis itu menceritakan seorang lonte yang masuk surga karena memberi minum seekor anjing yang kehausan di padang pasir, sedangkan peristiwa yang dimaksud adalah ucapan seorang selebritas menyebut seorang pemuka agama sebagai tukang obat. Adapun selebritas ini sering tampil "buka-bukaan" dalam profesinya.


Setelah itu, mengularlah beragam tanggapan lain terhadap dua pihak tadi. Ada yang tanggapannya sesuai dengan teks awal, ada yang tanggapannya justru sudah tidak ada lagi hubungannya dengan teks awal, tetapi lebih menunjukkan keberpihakan tanpa nalar dan cenderung emosional baik ke pihak pertama maupun pihak kedua.


Sampai di sini saja kita sudah menemukan bahwa cara kita memberi tanggapan atas suatu teks masih sangat emosional. Perdebatan sengit di medsos secara semantik pun tidak bisa dielakkan. Tidak terbayangkan betapa sengit perdebatan itu jika unsur suku, agama, ras, dan atargolongan turut terlibat, bahkan semakin panas lagi jika ditambahkan unsur politik.


Pada gilirannya, polarisasi di dunia medsos semakin kuat dan itu terjadi bukan semata karena pemahaman yang rendah atas suatu teks, melainkan juga karena ada "kayu bakar" lain yang dimasukkan ke dalamnya untuk memperkeruh suasana. Inilah yang kita khawatirkan. Pada saat itu terjadi, kita akan semakin sulit mengurai masalahnya.


Untungnya, semua itu hanya terjadi di medsos.


Isi artikel ini tidak mengekspresikan kebijakan redaksi klikanggaran.com




Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X