Jakarta, Klikanggaran.com – Beredar informasi, Komisi VII DPR RI telah mengagendakan rapat kerja pengambilan keputusan Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba) pada Senin (11/05/2020).
Menyusul informasi tersebut, DR. Ir. Simon Sembiring, mantan Dirjen Minerba KESDM yang termasuk perancang UU Minerba No. 4 Tahun 2009, memberikan beberapa catatan penting dalam draft RUU Minerba. Berikut cacatan tersebut:
Simak! Catatan Penting dalam Draft RUU Minerba Bagian 1
2. Defenisi Pengolahan Pasal 1 ayat 20 b: Pengembangan dan/atau Pemanfaatan adalah upaya untuk meningkatkan mutu batubara dengan atau tanpa mengubah sifat fisik atau kimia batubara asal.
Catatan:
Defenisi pada UU Minerba Pasal 1 ayat 20 tentang Pengolahan dan Pemurnian sudah sangat jelas dan itu sejalan dengan “Text book”. Defenisi yang saat ini dalam RUU ini adalah mengada-ada, memisahkan pengertian antara mineral logam dan batubara. Pembuat RUU ini lupa bahwa mineral logam di alam ditambang dalam bentuk bijih/Ore (kecuali emas alluvial yang bisa terdapat dalam bentuk butir halus emas maupun Nugget). Oleh karena itu bijih logam tersebut harus diolah dan dimurnikan (terjadi perubahan sifat phisik dan kimia) guna mencapai komoditas lagam murni tambang yang akan bisa digunakan sebagai barang konsumsi maupun barang untuk diproses melalui “manufaktur” bagi menghasilkan baik barang konsumsi maupun barang modal. Di lain pihak, batubara (kebanyakan di Indonesia adalah batubara thermal) adalah komoditas yang langsung dapat dimanfaatkan, terutama untuk pembangkit PLTU dan pemanas boiler di beberapa manufaktur dan keperluan “metalurgist”.
Oleh karena itu apabila ada upaya mengubah batubara jadi cair maupun gas. itu merupakan portofolio Departemen Perindustrian, bukan areal pertambangan minerba. Batubara tidak sama dengan “crude oil”. Crude oil tidak bisa langsung dimanfaatkan jadi sumber energi listrik, menjalankan alat otomotif dan sebagainya, oleh karena itu perlu ada Refinery (pemurnian), sehingga itu ada dalam portofolio ESDM.
Pertaanyaannya, “apa hal yang melatarbelakangi penetapan defenisi ini”, yang tidak didukung oleh pertimbangan ilmiah dan dipaksakan masuk dalam UU ini? Karena di dalam pasal-pasalnya akan terlihat “ada udang di balik batu”-nya.
3. Pasal 5 dalam RUU agak membingungkan, bila dibandingkan dengan Pasal 5 UU No.4/2009 lebih komprehensif dan sejalan dengan Pasal 6 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat. Hal yang mengerikan adalah: ayat (2): Untuk melaksanakan kepentingan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi penjualan dan harga mineral logam, mineral bukan logam jenis tertentu, atau batubara.
Catatan: Dalam UU Minerba No4/2009, apa yang menjadi kewenangan dalam pasal 5 disebut juga dalam pasal 6 (kewenangan Pemerintah), sedangkan dalam Pasal 5 RUU Minerba ini tidak secara exlpisit disebut dalam Pasal 6 RUU-nya. Apakah ini merupakan kealpaan Tim Sinkronisasi/ Tim Perumus? Atau, karena ditargetkan harus segera diundangkan (kejar tayang)?
4. BAB IV: Rencana Pengelolan Mineral dan Batubara berupa Pasal 8A dan 8B merupakan penetapan di mana dipadukan dengan rencana pembangunan jangka panjang dan rencana pembangunan jangka menengah nasional. Rencana ditetapkan untuk jangka waktu 5 tahun dan dapat ditinjau kembali satu kali dalam lima tahun.
Catatan: Tentu hal ini merupakan UU yang sangat optimis, membuat rencana nasional setiap lima tahun. Pertanyaannya, untuk melaksanakan penyesuaian isi KK dan PKP2B saja Pemerintah dan DPR tidak mampu melaksanakannya dalam waktu 5 tahun. Khusus KK yang berproduksi wajib memurnikan produksinya dalam waktu 5 tahun pun sejak 2009 sampai sekarang belum bisa dilaksanakan? Persoalan Modal? Padahal hal itu hanya melaksanakan Perintah UU bagi Pengusaha yang sudah beroperasi hampir 30 tahun yang notabene sudah mengeruk keuntungan besar. Barangkali harusnya ada Pasal dalan Sanksi administrasi dan Pidana dalam RUU ini bagi Pemerintah maupun DPR sebagai Pengawas agar apa yang diundangkan ini tidak asal jadi, tapi ada tanggung jawab moral dan intelektual dalam mengimplementasikannya.
5. Pasal 9 tentang Wilayah Pertambangan (WP), ayat (1) menyatakan WP sebagai bagian dari wilayah hukum pertambangan merupakan landasan bagi penetapan kegiatan usaha pertambangan.
Catatan: Dalam Pasal 9 ayat (1) UU Minerba No4/2009 ditetapkan bahwa WP sebagai bagian dari tata ruang nasional merupakan landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan. Hal ini memberi jaminan/kepastian hukum bagi semua pihak bahwa WP yang akan menjadi WUP yang pada gilirannya akan menjadi IUPR, IUP, dan IUPK tidak akan diubah karena sudah bagian dari Tata Ruang Nasional yang memberikan jaminan berusaha atas wilayah tersebut. Dalam RUU ini… hal ini dihilangkan… sehingga tidak memberi kepastian akan status suatu wilayah usaha pertambangan, sewaktu-waktu bisa berubah sebagaimana yang terjadi sebelum UU Minerba 4/2009, bahwa status hutan produksi bisa tiba-tiba berubah jadi hutan lindung, bahkan bisa menjadi hutan nasional.