Divestasi Freeport, Diproses Pansus DPR atau Investigasi KPK?

photo author
- Senin, 25 Februari 2019 | 16:00 WIB
Divestasi Freeport
Divestasi Freeport

Jakarta, Klikanggaran.com (25-02-2019) - Direktur CERI, Yusri Usman, menilai masih ada yang perlu dikritisi di balik divestasi Freeport Indonesia. Sikap kritis itu dilontarkan Yusri setelah beredarnya siaran pers PT Inalum (Persero) sebagai Holding BUMN Tambang, pada Minggu (24/2/2019), yang berisikan 9 keuntungan merebut Freeport.

Menurut Yusri, sejumlah keuntungan versi Inalum itu terkesan sebagai framing kegaulan Inalum atas keterangan Simon Sembiring dan Sudirman Said baru-baru ini. Yusri berpendapat, apa yang dikatakan Inalum itu sebagian besar telah dinikmati Indonesia sejak Freeport mulai berproduksi sejak 1972 lalu sesuai porsi sahamnya. Antara lain, pendapatan bagi pemerintah pusat dan masyarakat Papua, penyerapan tenaga kerja lokal, maupun pengembangan masyarakat setempat.

“Tapi, kalau ‘keuntungan manajemen’ saya tidak setuju. Buktinya, pucuk pimpinan Freeport masih banyak diisi orang dari Freeport Mac Moran, bukan dari PT Inalum sebagai pemegang saham mayoritas. Meskipun Indonesia sudah memiliki saham 51,2%, faktanya kendali operasional masih dipegang penuh FCX di PTFI. Bahkan dari kabar terbaru yang dirilis oleh FCX di New York, mereka masih menikmati hasil keekonomian 81,2% sampai akhir 2021. Sehingga SPA (Sales Purchasing Agreement) antara PT Inalum dengan FCX harusnya dibuka ke publik,” tantang Yusri.

Masih seputar divestasi Freeport, Yusri juga menyoroti kerusakan lingkungan warisan Freeport yang berpotensi harus dibayar Inalum sesuai porsi sahamnya ketika BPK tidak mampu memastikan kerugian negara. Yusri kemudian mengutip buku karya Simon Sembiring berjudul “Satu Dekade Nasionalisme Pertambangan” yang dirilis belum lama ini.

Dalam buku itu disebutkan, audit BPK tahun anggaran 2013-205 terhadap Freeport, ditemukan pelanggaran lingkungan. Antara lain berupa penggunaan kawasan hutan lindung tanpa izin, serta pencemaran limbah operasional penambangan di sungai, hutan, muara, dan bahkan mencapai laut. Tak tanggung-tanggung, berdasarkan hitungan BPK, kerugian negara akibat kerusakan itu mencapai Rp 185 triliun.

Divestasi Freeport


“Warisan kerugian itu akan dibayar juga oleh Inalum,” kata Yusri.

“Belum termasuk beban membangun smelter dan membayar bunga setiap tahun atas pinjaman global bond USD 4 miliar,” lanjutnya.

Lebih ironis lagi, sambung Yusri, masih menurut buku karya Simon, diduga kuat bahwa pembayaran saham 40 persen PT Rio Tinto oleh Inalum bertolak belakang dengan Kontrak Karya (KK) Freeport yang ditandatangani pada 1991. Dari dokumen yang ada berpotensi dugaan pelanggaran terhadap KK dan Undang Undang lainnya.

“Dengan kata lain, pembayaran saham Rio Tinto seharusnya tidak perlu terjadi. Kalau mau, kita sedikit kerja cerdas, dengan meminta pendapat ke pengadilan arbritase terkait surat IB Sujana dan Marie Muhammad tahun 1996,” tegas Yusri.

“Sehingga transaksi divestasi Freeport sebaiknya dilakukan proses investigasi. Bisa lewat pansus DPR, atau KPK melakukan investigasi. Pertanyaannya, apakah mereka berani?” tantang Yusri, menutup pembicaraannya dengan Klikanggaran.com, Senin (25/02/2019).

Baca juga : Inalum Diduga Membeli PI Rio Bodong di Tambang Freeport?

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

X